catatan yang sudah lama dibuat tapi baru saya bagi di sini. Biasa jadi emak-emak sok sibuk yang kerja 24 jam sehari bahkan kalau bisa sehari bisa ada ekstra lebih 24 jam biar ada waktu leyeh-leyeh :))
Monggo disimak :)
“Bu, bagaimana raport anak-anak, rangking berapa? “Pertanyaan
serupa adalah sangat biasa dibicarakan ibu-ibu tetangga kiri kanan
setiap kali musim penerimaan raport tiba. Dan setiap kali pula saya
bingung menjawabnya, karena kebetulan raport anak-anak tidak
mencantumkan rangking di bawahnya, sebagai parameter untuk menilai
kemampuan siswa.
Sebenarnya siapa sih yang membutuhkan dan berkepentingan dengan
predikat rangking itu, anak atau orang tua? Dan jawabannya, bahwa
cenderung yang berkepentingan dengan rangking adalah orang tua.
Begitu pentingkah rangking bagi orang tua? Rasanya begitu ya, dan
umumnya memang seperti itu. Begitu egoisnya para orang tua, mereka
menuntut anak-anak untuk membuat mereka bangga.
Coba lihat, jika
anak-anak mendapat rangking 1 dari bawah atau tidak masuk dalam 10
besar di kelasnya dapat dipastikan orang tua akan merasa malu.
Sekedar rasa malu yang terbersit dalam hati itu masih sangat wajar dan lumayan. Lebih parah lagi kalau rasa malu itu diluapkan dalam bentuk kemarahan
kepada anak. Dan kemarahan itu justru akan membuat anak semakin
terpojok dan merasa tidak dihargai.
Merasa bangga jika anak mendapat rangking atas itu sangat wajar. Tapi
para orang tua haruslah hati-hati dan waspada, kadang kebanggaan
orang tua yang berlebihan justru membuat anak terbebani. Di sisi
lain, bagi anak yang mendapat rangking di atas 10, di samping mereka
mendapat marah, juga akan terbebani dengan perasaan malu dan minder.
Tak seorang anak pun rela dibandingkan dengan anak yang lain, walaupun
sistem rangking tidak diniatkan untuk itu, tapi pada kenyataannya
sistim rangking telah membandingkan setiap anak dengan cara yang
tidak fair.
Ada pesan sangat indah yang saya dapat dari seorang ustadzah (guru) saat merima rapot kemarin, “Bapak
dan Ibu, jika menerima raport anak, pertama lihatlah mana mata
pelajaran yang mendapat nilai paling tinggi. Pujilah dan beri
apresiasi atas pencapaian itu, ajak anak bersama melihat hasil
raportnya, kemudian baru ulas bersama nilai yang dibawah standar.
Diskusikan dengan anak, apa kesulitannya, dan motivasi mereka bahwa
sebenarnya mereka bisa.”
Jujur saja , biasanya orang tua termasuk saya tentunya * ngaku nih si Emak :D, tanpa sadar
akan langsung bereaksi pada hal-hal negatif yang dilakukan anak-anak.
Begitu membuka raport dan terpampang nilai matematika atau sains 6
atau 7, sudah langsung panas hati. Tanpa peduli dengan nilai Agama,
Bahasa Indonesia, Kesenian, IPS, atau Olah Raga yang 8 dan 9,
langsung khotbah dan ceramah panjang lebar akan keluar.
Rasanya sangat tidak adil, jika kemampuan anak hanya dinilai sebatas
pencapaian kognitif saja. Bukankah banyak aspek kecerdasan yang
harus dilihat. Menurut DR Howard Gardner, kecerdasan adalah:
kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi, kemampuan untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan baru, dan kemampuan untuk
menciptakan sesuatu, atau memberi penghargaan pada budaya seseorang. Jadi kecerdasan tidak bisa hanya dinilai dari angka-angka di atas kertas.
|
Foto diambil dari FB SDIT Nurul Fikri Sidoarjo |
Cerita seorang teman yang tinggal di sebuah negara
di benua tetangga. Di sana anak-anak berangkat sekolah dengan
senyum mengembang, tak ada beban yang memberatkan punggung dan otak
mereka. Mereka belajar dengan gembira, dan InsyaAllah karena
kegembiraan itu justru nilai-nilai yang diajarkan lebih meresap. Dan
di akhir semester mereka juga dengan gembira menerima penghargaan
sesuai dengan prestasi mereka masing-masing. Di sana yang ada
achievment , "Penghargaan" atas keistimewaan anak
masing-masing. Karena rangking menurut mereka adalah abuse. :(
Bandingkan dengan anak-anak Indonesia, pulang sekolah dengan
membawa setumpuk PR, ditambah sorenya masih les untuk semua mata
pelajaran dan les ini itu yang seringkali hanya mengikuti jadwal yang
sudah dibuat oleh orang tua. Belum lagi tuntutan harus rangking 1
atau minimal masuk 10 besar. “Hiks aku capek dan bosan Maaa...!” Begitu
mungkin jerit mereka dalam hati.
Alangkah indahnya, jika pada saat penerimaan raport, setiap anak
mendapat hadiah, meskipun itu hanya sebuah buku, penghapus lucu
warna-warni, atau pun selembar kertas berlogo bintang tertulis
namanya dengan mencantumkan penghargaan atas prestasi yang dicapai di
bidang mereka masing-masing. Predikatnya sebagai siswa penyabar,
siswa yang ramah, siswa yang tertib, dan seterusnya rasanya lebih
membanggakan bagi mereka.
Pasti senyum mereka
akan mengembang, dan mereka akan bercerita pada seisi dunia “Horee...! Aku mendapat
hadiah dan jerih payahku ternyata dihargai.” Setelah itu rasanya mereka jadi lebih semangat untuk menunjukkan kalau mereka BISA!
|
Belajar bisa dimana saja (foto diambil dari FB SDIT NF Sidoarjo |
Memang tak bisa dipungkiri bahwa sistem pendidikan
di negeri ini sudah terpola sedemikian rupa. Sehingga tidak
menempatkan seorang anak didik (siswa) sebagai subyek pendidikan,
yang mempunyai hak untuk dihargai prestasinya sekecil apapun itu.
Terutama pada pendidikan di usia dasar, yang harus lebih bijak dan
manusiawi, karena anak-anak bukan robot tak
bernyawa yang tak mengenal rasa sakit hati dan kecewa. Mungkin ada
beberapa sekolah yang tidak menerapkan sistem rangking ini, tapi tak
bisa dipungkiri bahwa sekolah-sekolah itu berbiaya tidak murah.
Meskipun sistem pendidikan kita adalah sebuah
dilema, minimal kita, para orang tua bisa mengubah paradigma, bukan
anak-anak yang “bodoh”, tapi orang tua yang semakin tidak
mau mengerti dan memahami bahwa setiap anak adalah unik, karena mereka
cerdas di bidangnya masing-masing.
Selamat buat anak-anak semua yaaa... selamat menempuh semester baru , doa Ibu selalu menyertaimu :)
Sstt... kemarin
waktu terima raport, saya mendapat hadiah yang terbungkus kertas sampul rapi,
Alhamdulillah....isinya sebotol besar sabun cuci piring hehehe
. Penghargaan dengan predikat Emak yang rajin datang jika ada undangan
pertemuan di sekolah *_*
Sidoarjo, 16 Januari 2011