Sore
itu, 30 April 2015. Di aula SMPIT Darul Fikri, saya menghadiri acara doa
bersama menjelang UN. Kalau menceritakan
tentang UN rasanya sudah telat pakai banget ya… Pingin nulis ulang coret-coretan di buku gegara saya buka-buka catatan kecil yang selalu dibawa ‘ngalor ngidul’ karena selalu nyelip di tas.
Catatan tentang nasehat yang diberikan pada anak-anak saat itu.
Tahun ini adalah tahun dimana UN
bukan menjadi syarat kelulusan. Saya melihat anak-anak dan orang tua lebih santai
saat acara doa bersama. Pengalamn tahun yang lalu, biasanya orang tua (terutama) dan anak-anak sama-sama diliputi ketegangan dan kecemasan. Merasa UN adalah ujian nasib padahal kalau sudah dilalui ya ngak begitu-begitu amat. UN hanya proses kecil untuk batu loncatan menuju derajat yang lebih tinggi. Justru yang lebih berat adalah proses anak-anak belajar melewati masa 3 tahun dengan segala tantangannya.
Nasehat untuk anak-anak diberikan oleh
direktur Darul Fikri ustad Syaiful Arifin. Beliau bercerita tentang belajar
kehidupan dari air dan garam.
Suatu ketika, sesaat sebelum liburan, seorang
guru berpesan pada murid-muridnya.
“Anak-anak, tugas kalian selama
libur adalah belajar kehidupan. Belajarlah tentang kehidupan pada siapa saja
yang kalian temui nanti.”
Sesampai di rumah seorang anak
berkata kepada ayahnya bahwa dia mendapat tugas untuk belajar kehidupan. Sesaat
ayahnya tercenung. Dahinya berkernyit, berpikir keras apa yang akan diajarkan
kepada anaknya tentang kehidupan.
Akhirnya setelah terdiam sekian lama
sang ayah berkata, “Ok, besok kita akan bersama-sama belajar kehidupan. Kita
akan piknik di tepi danau.”
Sang anak melonjak gembira. Betapa
enaknya belajar kehidupan. Tapi sebelum berangkat piknik besok, Ayah berpesan
untuk menyiapkan beberapa benda dan bekal yang harus dibawa.
Dengan riang dan penuh semangat Anak
menyiapkan semua yang dipesan oleh Ayahnya. Selain selembar tikar dan camilan, Ia
menyiapkan sekantong garam, sendok makan, gelas, mangkuk dan sebuah ember. Ia
semakin penasaran dan tak sabar menunggu esok tiba.
Esoknya, mereka berdua berjalan
beriringan ke tepi danau yang tak jauh dari rumah. Menghamparkan tikar,
meletakkan perbekalan, lalu menikmati udara pagi yang masih sejuk.
“Nak, sekarang saatnya kita belajar
kehidupan. Ambilah 5 sendok makan air di danau itu, lalu campurlah dengan 5
sendok makan garam.”
Sang anak dengan patuh mengikuti
perintah Ayahnya. Ia mencampurnya di dalam gelas yang dibawanya. Setelah
mencampur dan mengaduknya dengan sempurna, lalu ia menuju ke tempat Ayahnya
duduk.
“Coba cicipi rasanya.”
“Hueks! “ Si Anak melepehkan air di
mulutnya. Ternyata air itu rasanya pahit.
Kini tiba di pelajaran kedua. Ayah
meminta Anak mencampur 5 mangkuk air danau dengan 5 sendok makan garam.
Dicampurnya air dan garam di dalam ember. Setelah larut dengan sempurna,
kembali sang Anak disuruh mencicipinya.
“Apa rasanya Nak?”
“Asin Ayah.”
“Sekarang, coba kau masukkan 5
sendok garam ke dalam danau itu. Lalu cicipi rasanya.”
Sang Anak menurut, tapi tanpa perlu
mencicipinya terlebih dahulu ia menjawab, “tentu saja rasanya tetap tawar Ayah.
Bagaimana mungkin 5 sendok garam dapat mengubah rasa air sebuah danau.”
Ayah tersenyum lebar sambil menepuk
bahu anaknya. Begitulah gambaran kehidupan. Jika hatimu hanya seluas gelas atau
mangkuk itu, maka engkau akan merasakan betapa pahit dan getirnya kehidupan
ini. Tapi jika hatimu seluas danau ini, maka kau akan merasakan kelapangan dan
keikhlasan hidup. Karena cobaan dan tantangan hidup yang akan kau lalui tak
akan mempengaruhi rasa di hatimu. Hatimu akan tetap damai dan tenang.
Menghadapi hidup dengan penuh semangat dan rasa syukur.
Semoga anak-anak bisa meresapi kisah ini. Menjadi manusia yang mempunyai hati yang lapang dan ikhlas. Karena tantangan hidup di depan mereka semakin berat tapi tetap bisa ditaklukkan . Buat mbak Deva dan teman-temannya, tetap semangat! Menjadi insan mulia yang bermanfaat bagi manusia yang lain.
No comments:
Post a Comment