Alhamdulillah... cerita ini dimuat di Konan Radar Bojonegoro Minggu 2 Juni 2013. Kirim cernak via email : kenalyan@yahoo.co.id
Belajar Menulis
Akhir-akhir
ini cuaca tak menentu. Seharian cuaca cerah, besok bisa jadi hujan
seharian. Atau seperti hari ini, tiba-tiba langit biru berubah
kelabu, lalu hujan turun dengan lebatnya. Aku memandang air yang
meluncur deras dari balik kaca jendela.
Brrr...
hawa dingin menyapu wajahku. Membuatku semakin merapatkan tangan di
depan dada. Hmm... alangkah malasnya hujan-hujan begini keluar rumah.
“Huhh!
Kenapa sih hujan nggak berhenti juga?” dengusku kesal.
Kulirik
jam di atas meja. Jarum pendek sudah menunjuk angka tiga, jarum
panjangnya tepat di angka duabelas. Setengah jam lagi aku harus
berangkat. Hari ini jadwal belajar di kelas menulis. Setiap minggu
pertama aku belajar menulis di rumah Kak Indah. Mengikuti kelas
menulis adalah keinginanku. Sejak ceritaku dimuat di sebuah majalah
anak, aku semakin semangat menulis. Mama selalu mengingatkan, kalau
sudah berniat untuk belajar sesuatu, harus sungguh-sungguh. Jangan
setengah-setengah.
Di
luar hujan tak juga reda. Seandainya Papa masih ada, pasti aku tak
segundah ini. Papa pasti akan mengantarku. Sejak Papa meninggal enam
bulan yang lalu, aku harus belajar mandiri. Untung sejak naik kelas 5
aku sudah belajar naik sepeda ke sekolah. Aku juga harus belajar
menyiapkan keperluan sendiri. Mama harus menggantikan Papa mengelola
toko. Mama harus berangkat pagi, dan baru tiba di rumah menjelang
maghrib.
“Untuk
menjadi anak hebat, Shafa harus belajar mandiri. Papa yakin, Shafa
bisa!” Kalimat yang sering diucapkan Papa padaku.
Aku
memandangi kaca jendela yang buram karena berembun. Kuusap uap air
yang menempel di sana dengan tanganku. Saat itu, kulihat seorang
bapak tua berjalan tertatih. Di pundaknya terdapat pikulan yang
berisi bermacam alat rumah tangga dari plastik. Baju bapak tua itu
basah terkena air hujan. Ia hanya memayungi kepalanya dengan selembar
daun pisang.
Hatiku
terasa hangat, melihat bapak tua itu. Semangatnya tetap menyala,
meski hujan merintangi langkahnya. Ah... tapi bolos sekaliii saja
karena hujan tak apa kan?
Aku
masih termangu di balik kaca jendela. Kembali mataku menangkap
bayangan seseorang. Di depan pintu pagar, kulihat seorang anak
perempuan sebayaku. Dia berjalan terpincang-pincang. Tangan kanannya
menjinjing sebuah keranjang yang dibungkus plastik. Sebuah payung
kumal yang tak sempurna mengembang melindungi kepalanya.
Kulihat
Bi Imah keluar dari pintu samping. Didekatinya anak perempuan itu.
Ohh... ternyata dia Rani. Rani teman sekelasku. Sepulang sekolah Rani
menjajakan kue keliling komplek. Setelah berbincang sebentar, Bi Imah
membeli beberapa kue. Pasti ada kue lapis dan lemper ayam kesukaanku.
Kaki
Rani tak tumbuh sempurna sejak kecil. Kata Mama, saat bayi Rani kena
virus polio. Kulihat Rani tersenyum menerima uang dari Bi Imah. Lalu
kembali berjalan terseok menembus hujan yang belum reda.
Tiba-tiba
aku malu pada Rani dan bapak tua itu. Mereka tetap semangat meski
hujan menghadang. Sedangkan aku, masih saja menjadikan hujan sebagai
alasan untuk bolos mengikuti kelas menulis. Padahal ada banyak cara
untuk melindungi diri dari hujan.
Aku
segera bergegas menyiapkan tas dan alat tulisku. Kukenakan jas hujan
warna pink bergambar kupu-kupu. Kukeluarkan sepeda hitam
kesayanganku. Tak lupa sebuah payung lipat kecil warna ungu
kumasukkan keranjang depan sepedaku. Kukayuh sepeda dengan riang
menembus hujan. Aku yakin, Mama dan Papa pasti bangga jika melihatku. [ Vanda Nur Arieyani ]
selamat buuu... ^_^
ReplyDeletewah di koran masih ada ya rubrik cernak.. padahal paling banyak di majalah :D
Terimakasih :) msh ada, biasanya koran hari Minggu, yg aku tahu radar sama kompas :))
Deleteselamat, ya, Mbak :)
ReplyDeleteMakasih mbak Myra :)
Deletewahhh selamatt ya..
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Hana cantik :)
Delete