Tuesday 11 June 2013

Cernak di Radar Bojonegoro

Alhamdulillah... cerita ini dimuat di Konan Radar Bojonegoro Minggu 2 Juni 2013. Kirim cernak via email : kenalyan@yahoo.co.id


Belajar Menulis

        Akhir-akhir ini cuaca tak menentu. Seharian cuaca cerah, besok bisa jadi hujan seharian. Atau seperti hari ini, tiba-tiba langit biru berubah kelabu, lalu hujan turun dengan lebatnya. Aku memandang air yang meluncur deras dari balik kaca jendela. 


        Brrr... hawa dingin menyapu wajahku. Membuatku semakin merapatkan tangan di depan dada. Hmm... alangkah malasnya hujan-hujan begini keluar rumah.

        “Huhh! Kenapa sih hujan nggak berhenti juga?” dengusku kesal.

       Kulirik jam di atas meja. Jarum pendek sudah menunjuk angka tiga, jarum panjangnya tepat di angka duabelas. Setengah jam lagi aku harus berangkat. Hari ini jadwal belajar di kelas menulis. Setiap minggu pertama aku belajar menulis di rumah Kak Indah. Mengikuti kelas menulis adalah keinginanku. Sejak ceritaku dimuat di sebuah majalah anak, aku semakin semangat menulis. Mama selalu mengingatkan, kalau sudah berniat untuk belajar sesuatu, harus sungguh-sungguh. Jangan setengah-setengah.

      Di luar hujan tak juga reda. Seandainya Papa masih ada, pasti aku tak segundah ini. Papa pasti akan mengantarku. Sejak Papa meninggal enam bulan yang lalu, aku harus belajar mandiri. Untung sejak naik kelas 5 aku sudah belajar naik sepeda ke sekolah. Aku juga harus belajar menyiapkan keperluan sendiri. Mama harus menggantikan Papa mengelola toko. Mama harus berangkat pagi, dan baru tiba di rumah menjelang maghrib. 

     “Untuk menjadi anak hebat, Shafa harus belajar mandiri. Papa yakin, Shafa bisa!” Kalimat yang sering diucapkan Papa padaku. 

     Aku memandangi kaca jendela yang buram karena berembun. Kuusap uap air yang menempel di sana dengan tanganku. Saat itu, kulihat seorang bapak tua berjalan tertatih. Di pundaknya terdapat pikulan yang berisi bermacam alat rumah tangga dari plastik. Baju bapak tua itu basah terkena air hujan. Ia hanya memayungi kepalanya dengan selembar daun pisang. 

    Hatiku terasa hangat, melihat bapak tua itu. Semangatnya tetap menyala, meski hujan merintangi langkahnya. Ah... tapi bolos sekaliii saja karena hujan tak apa kan? 

      Aku masih termangu di balik kaca jendela. Kembali mataku menangkap bayangan seseorang. Di depan pintu pagar, kulihat seorang anak perempuan sebayaku. Dia berjalan terpincang-pincang. Tangan kanannya menjinjing sebuah keranjang yang dibungkus plastik. Sebuah payung kumal yang tak sempurna mengembang melindungi kepalanya. 

     Kulihat Bi Imah keluar dari pintu samping. Didekatinya anak perempuan itu. Ohh... ternyata dia Rani. Rani teman sekelasku. Sepulang sekolah Rani menjajakan kue keliling komplek. Setelah berbincang sebentar, Bi Imah membeli beberapa kue. Pasti ada kue lapis dan lemper ayam kesukaanku. 

      Kaki Rani tak tumbuh sempurna sejak kecil. Kata Mama, saat bayi Rani kena virus polio. Kulihat Rani tersenyum menerima uang dari Bi Imah. Lalu kembali berjalan terseok menembus hujan yang belum reda.
Tiba-tiba aku malu pada Rani dan bapak tua itu. Mereka tetap semangat meski hujan menghadang. Sedangkan aku, masih saja menjadikan hujan sebagai alasan untuk bolos mengikuti kelas menulis. Padahal ada banyak cara untuk melindungi diri dari hujan.

     Aku segera bergegas menyiapkan tas dan alat tulisku. Kukenakan jas hujan warna pink bergambar kupu-kupu. Kukeluarkan sepeda hitam kesayanganku. Tak lupa sebuah payung lipat kecil warna ungu kumasukkan keranjang depan sepedaku. Kukayuh sepeda dengan riang menembus hujan. Aku yakin, Mama dan Papa pasti bangga jika melihatku.  [ Vanda Nur Arieyani ]

6 comments:

  1. selamat buuu... ^_^
    wah di koran masih ada ya rubrik cernak.. padahal paling banyak di majalah :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih :) msh ada, biasanya koran hari Minggu, yg aku tahu radar sama kompas :))

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...