Thursday, 6 October 2016

Belajar Memahami Perasaan Anak untuk Diakui

Bismillahirrahmanirrahim.

Belajar memahami perasaan anak untuk diakui. Hmm... akhir-akhir ini rasanya kok saya jadi suka ngepoin akun beberapa IG. Terus terang saja, baru kali ini saya sedikit mengikuti dan ngepoin masalah seorang public figur, ya gara-gara polemik bapak dan anak itu, 

Awalnya saya hanya menganggap biasa dengan kasus ini. Beberapa hari setelah si Bapak melakukan klarifikasi, dan media, (terutama media sosial)  begitu memblow up masalah ini, meski miris, saya masih anteng.   Tapi ketika suatu malam, saat menjelang tidur seorang bocah perempuan  tiba-tiba menyeletuk, "Ibu, aku beneran anaknya Ayah kan? Darahku sama kan dengan darah Ayah?"




Sebenarnya antara kaget dan geli saat mendapat pertanyaan itu. Geli karena dia belum mudeng antara tes golongan darah dan DNA :D.  Rupanya bocah 14 tahun ini,  karena dia main IG, tentunya membaca postingan-postingan tentang hal ini. Apalagi, yang diikuti kebanyakan para public figur 'Pencerah', semacam Ustad Felix Siaw, Ustad Yusuf Mansur, Wirda Mansyur, Oki Setiana Dewi, Tengku Wisnu termasuk Motivator Bapak Mario Teguh daftar followingnya. Alhamdulillah... Bocah ini nggak tertarik dengan Awkarin & Gaga  

Deg! Ada sesuatu yang membuat hati saya ngilu. Ternyata sebagai orang tua, kita tidak bisa mengabaikan  perasaan anak begitu saja. Ketika seorang anak meragukan keberadaan dirinya, atas pengakuan orang tuanya, pasti sangat menyakitkan.

Kemudian kami pun membahas panjang lebar dari biologi sampai tentang test DNA itu apa. Masalah semakin melebar dengan pertanyaan, "Berarti bisa juga  misalnya aku dulu, ketukar di rumah sakit," haladalah... kok tambah rumyam pertanyaannya, ala-ala sinetron :D  "Nggak mungkin Adek, wong habis lahir setelah dibersihkan kamu langsung dikasih tanda gelang tangan trus ditaruh di kamar di samping Ibu". Dulu belum familiar dengan program IMD jadi menyusui setelah bayi dibersihkan. 

Saya jadi ingat, dulu ketika anak-anak masih kecil seringkali teman saya, ataupun Om dan Tantenya meledek, menggoda "Dek, ayahmu loh bukan Ayah yang ini. Lihaten, wajahnya loh nggak mirip." Padahal, bocah kedua saya ini wajah, bentuk badan (balungannya) dan kulitnya 75%  mirip Ayahnya. Kalau kakaknya wajahnya malah mirip tantenya, adik Ayahnya.

Ledekan pun berlanjut "Ehh... anaknya Pak Sayur ya paling." , "Anaknya Pak air ya ini." Saat si bocah kecil sudah teriak-teriak, lalu mewek maka para penggodanya merasa puas. 

Saya kadang sampai gemes kalau sudah pada nggodain seperti ini. Biasanya saya sampai mendelik ke arah si penggoda.  Lucu sih memang kalau lihat anak kecil terus nangis karena berhasil digodain. Tapi yang awalnya niatnya mengoda seperti ini, kalau terus menerus terjadi bisa-bisa si anak menjadi ragu atas jati dirinya.  

Ketika anak-anak semakin besar, usia TK hingga awal SD, beberapa kali saya sering keceplosan jika sedang ribet di dapur atau sedang nanggung mengerjakan sesuatu, tiba-tiba bocah caper. Spontan saya berseru, "Ayah! Ini loh anakmu."

Dan saya sempat tertohok dengan jawabannya, "Ibu kok nggak bersyukur punya anak aku."

Gubrak! Waduh, salah ucap deh saya. Sempat tertegun sekian detik, kemudian tertawa sambil memeluk saya menjawab, "Iya maaf, Adek kan anaknya Ibu sama Ayah  ya." Sambil menghujani dia dengan ciuman.  

Bercandaan tentang jati diri anak seperti di atas saja sebenarnya bisa membekas di benak anak, apalagi jika pengakuan itu benar-benar tidak didapatkan, bahkan diingkari. Padahal anak yang tidak diakui keberadaannya sangat banyak di negeri ini, hanya karena ini terjadi pada seorang public figure yang kata-katanya mempengaruhi banyak orang, maka kasus ini begitu menyita  perhatian.


Saya jadi mikir, bagaimana jika semua anak yang hadir dalam sebuah perkawinan yang syah, diakui oleh negara lalu karena perselisihan orang tua, menjadi diragukan nasabnya. Kalau Ibu sih jelas, wong dia yang mengandung dan melahirkan, bisa memastikan "Kamu anak Ibu" kalau Ayah yang meragukan, waahh... bisa kacau dan berbuntut panjang. 


Terus terang, gegara pertanyaan Bocah ini, saya jadi suka, mengamati aktifitas di IG si 'Anak Motivator' . Entah mengapa, hati saya 'semendal'  melihat aktifitas dan kreatifitasnya. Hati saya juga merasa ngilu, memandang foto-foto masa kecilnya, membayangkan, ada ruang kosong di hati dan jiwanya yang tiba-tiba tidak terisi oleh sosok seorang Ayah. Ironisnya, bukan karena dia yatim, atau ayahnya tak tahu rimbanya, dia bahkan bisa melihat sosoknya di balik layar kaca, namun tak merasakan kehangatan kasih sayangnya. 

Saya nggak akan membela, atau menghujat salah satu si Bapak atau Anak. Saya hanya sedang belajar, dan memutar ulang kembali memori lama tentang mengasuh anak-anak dulu. Sungguh, ada rasa sedih mengalir di hati, rasanya ingin memutar waktu, dan mengulang kembali saat-saat saya membersamai tumbuh kembang masa balita dan kanak-kanak mereka.

Saya jadi teringat nasehat saat mengikuti sebuah forum parenting, bahwa seorang anak membutuhkan peran dan sosok Ayah dan Ibu dalam setiap proses tumbuh kembangnya. Agar ia tumbuh sesuai fitrahnya. Berdasarkan yang pernah saya dapat, sebagai berikut :

Fase Mendampirngi Tumbuh Kembang Anak sesuai fitrahnya 

Usia 0 - 2 tahun : Fase ini, anak harus dekat dengan bundanya. Karena itu menyusui selama 2 tahun adalah fase emas memupuk ketauhidan, kasih sayang, dan ikatan batin yang kuat. Dekapan, detak jantung, tatapan mata ibu adalah pelajaran berharga buatnya untuk mengawali hidup di dunia.  

Usia  3 - 6 tahun : Fase ini, anak mulai menjadi penjelajah dunianya. Anak membutuhkan sosok ayah dan bundanya di fase ini. Bermain, jalan-jalan, beraktivitas bersama ayah & bunda adalah hal yang paling membahagiakan, meninggalkan kenangan mendalam saat mereka dewasa. 

Usia 7 - 10 tahun : Fase ini anak membutuhkan sosok yang sesuai gendernya. Jika anak laki-laki, dekatkan dengan ayah, jika anak perempuan dekatkan dengan ibu. Anak laki-laki dilibatkan dengan aktivitas ayah, seperti olah raga, otak-atik motor, bongkar-pasang memperbaiki alat rumah tangga dsb. Sedangkan anak perempuan libatkan dengan urusan dapur, ketrampilan, kecantikan dsb.

Usia 11-14 tahun : Fase usia pra remaja, anak memasuki tahap menjelang aqil baligh. Inilah saat anak mulai mengenal dunia semburat merah jambu, lebih senang bermain dan bertukar cerita dengan teman-temannya, mulai punya teman satu genk dsb. Waktunya anak didekatkan dengan lintas gender, anak laki-laki didekatkan dengan Ibu, anak perempuan didekatkan dengan Ayah.

Jika anak laki-laki, maka ia akan belajar memahami perasaan lembut dari Ibu, dekat dan merasakan betapa agungnya kasih sayang beliau. Maka jika kelak dia dewasa, dia akan menjadi suami yang  lembut, memahami perempuan. Jika anak perempuan, ia akan belajar ketegaran, juga ia akan terbiasa merasakan curahan kasih sayang, dan belaian tangan kokoh laki-laki dewasa yaitu ayahnya. Maka ia tidak akan mudah jatuh terpikat oleh perhatian dan kasih sayang laki-laki dewasa yang bukan mukhrimnya. 

Meski belum sempurna dan masih banyak bolong di sana-sini *pingin mereset ulang fase-fase itu hiks, kami berusaha melewati tahapan-tahan itu. Semoga kebersamaan kami di fase-fase itu cukup tuntas sebagai bekal mereka menyongsong gerbang masa remaja dan dewasa.  Aamiin... 

Bagaimana jika sosok salah satunya tidak ada? Maka harus dihadirkan sosok perempuan dewasa atau laki-laki dewasa sebagai pengantinya. Seperti Rasulullah yang mendapat sosok pengganti Ibu, dari sosok ibu susunya Halimah Assa'diyah dan mendapatkan sosok Ayah dari  kakeknya Abdul Mutholib dan pamannya Abu Tholib. 

Semoga perseteruan dan polemik antara ayah dan anak laki-laki nya ini segera berakhir dengan baik dan indah. Dan menjadi pelajaran berharga buat para orangtua, terutama para Ayah, untuk menjadi lebih bijaksana dan bertanggung jawab.    

*Semoga bermanfaat :) 

3 comments:

  1. Setuju mba ga bisa dianggap remeh y ttg pengakuan ini salah bicara sedikit aja bisa menggores luka membekas. Bisa kita jadiin pembelajaran y mba :)

    ReplyDelete
  2. saya juga kurang sreg kalau ada yang bilang ayahnya ini atau itu. Walaupun konteksnya becanda. Kasihan anaknya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, betul. Karena meski bercanda, anak akan merekam, dan ada beberapa anak yang perasa, jadi kasihan.

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...