Monday 4 April 2016

Jangan Panggil Aku 'Bencong'

Di tengah bebersih email, saya menemukan sebuah email yang terselip. Email yang sudah lama sekali saya terima.  Email yang kembali saya baca, dan saya kembali memungut hikmah dari kata demi katanya. Berikut kutipan emailnya (Saya kutip sebagian). 


***
Rumah kos, 14 Maret 2010, 02.16

“Apakah kamu seorang bencong?”  Celutuk seorang teman baru suatu hari. Entah dengan polos, entah ada tendensi tertentu, atau merasa menjadi teman wajib mengingatkan ke “jalan yang benar”. Jawabanku cuma satu. Tersenyum

Reaksi berlawanan jika pertanyaan tersebut terlontar 15 tahun lalu. Marah, menangis, menyalahkan lingkungan, merasa dianaktirikan sebagai makhluk Tuhan, dan gong nya adalah menghujat Tuhan ( kini, saya tetap merasa dianaktirikan dan menghujat Tuhan, tapi dengan tema yang lain. Tema Tuhan dapat dibaca pada edisi berikutnya ).

Semua lelaki feminine pada awalnya pasti berontak. Bukan hanya karena agama tak menghendaki, laki-laki berperilaku keperempuan-peremuanan atau sebaliknya. Tapi lebih karena kultur yang memandang aneh.  Sebagian kemudian berhasil merubah menjadi “lelaki” ( taruhan, tak lebih dari 5 %, mestinya ada penelitian khusus tentang ini ). Sebagian lainnya menenggelamkan dirinya dalam kemunafikan dan keputusasaan ( berusaha tampil macho, tapi tak berhasil). Saya, memilih menjadi sebagian yang terakhir , yaitu menerimanya dengan iklas dan sadar. Bahwa menerima diri berbeda dengan lelaki lain pada umumnya dianggap “bencong”, bahwa definisi “bencong” adalah sosok dengan raga lelaki dengan sebagian keinginan dan sifat yang sama dengan perempuan , maka arti senyuman saya berarti”ya. Ya, saya seorang “bencong”.

Ada banyak cara yang dipilih sehubungan dengan pilihan terakhir. Ada yang menunjukkan identitasnya dengan berpakaian wanita. Anda bisa lihat di jalanan dan salon kecantikan. Saya jelas bukan bencong jenis ini. Saya tak suka berpakaian wanita, apalagi bersolek. Dalam hal ini saya kontras dengan wanita. Aneh saja melihat wanita menghabiskan  waktu berjam-jam memilih baju agar matching dengan bawahan. Hei, wanita.. Percayalah, kaum lelaki tak akan memilihmu hanya karena kalian pandai mematch kan baju. Sebagian besar dari mereka bahkan tak tahu dan tak peduli jenis pakaian yang matching. Buat saya, istilah matching hanya berlaku dalam ilmu akuntansi. Bahwa beban diakui ketika beban tersebut telah menghasilkan pendapatan.

Beberapa dari populasi lelaki feminine membentuk komunitas. Dengan adanya wadah mereka berharap dapat berjuang bersama-sama melawan ketidakadilan. Tentunya, keadilan dari sudut pandang manusia, yang harusnya memakai tools nurani untuk memberikan judgment terhadap kewajaran suatu perilaku. Secara konseptual, saya mendukung statemen, bahwa masyarakat tidak berhak menentukan salah atau benar. Sama dengan auditor ( opini auditor tak pernah menyebut laporan keuangan  dengan  istilah benar, hanya wajar), masyarakat juga mempunyai banyak limitasi atau keterbatasan. Jadi, salah dan benar biarkan Tuhan yang menentukan. Namun secara tehnik, saya tak suka masuk dalam sebuah komunitas dengan karakter orang-orang yang sejenis( barangkali soul bencongku belum sempurna ). Di kampusku, terkhusus ekonomi, tidak sedikit lelaki berkarakter feminin. Tapi saya tak berniat menjadi bagian dari mereka. Lebih nikmat berteman dengan wanita. Meski tak terlalu nyaman, bercengkerama dengan lelaki umum jauh lebih menyenangkan.

Namun apapun itu, seorang lelaki feminin, membutuhkan serangkaian peristiwa yang melukainya dimasa lalu untuk membentuk mental bertanding. Bayangkan, ketika anda berusaha tampil macho, namun tetap disebut sebagai bencong, anda telah terluka dalam dua sisi. Pertama, anda teluka karena menipu habis-habisan diri anda. Munafik sesungguhnya adalah bencong yang tak mau disebut bencong. Kedua, effort yang telah disusun sedemikian rapi, gagal berkeping-keping. Ibarat sebuah film, dengan skenario yang bagus dan penyutradaraan yang jitu, namun tak diterima di pasaran. Bayangkan pula, seorang ibu dengan jelas-jelas melarang anaknya berteman dengan anda hanya karena takut ketularan bencong. Bagaimana bisa bencong menular pada sosok di usia belasan ke atas ? Ada banyak faktor pembentuk bencong ( salah satu teman menyebut sebagai fitrah Tuhan, meski saya menolaknya ), tapi kupastikan proses pembentukannya terjadi pada periode 0 – 7 tahun. Pelajaran buat ibu-ibu muda, jika anda baru menyadari anak lelaki anda feminin setalah 7 tahun, anda tak berhak memaksa mereka ke track yang benar.

Sebagai anak yang pernah menghabiskan waktu di sekolah keagamaan, saya tahu Tuhan tak suka jenis makhluk model ini. Meski sisi rohaniku sekarang berada pada titik paling nadir, saya juga tahu akan ada pertanggungjawaban dikemudian hari. Saya akan merayu Tuhan dengan cara yang lain. Mencari senjata untuk membela diri atas pilihanku.Barangkali karena Tuhan terlalu banyak menggempurku dengan problem berbagai dimensi. Jadi, saya terpaksa meletakkan sebagian masalah menjadi bukan masalah lagi. Entahlah.

Tulisan ini tak bermaksud mengajak lelaki feminin untuk memilih bagian yang terakhir. Tak juga punya tendensi sebagai pembelaan diri. Bagaimanapun, menjadi “bencong” dan menerimanya dengan iklas adalah alternatif yang mungkin terbaik dari yang terburuk. Hanya ngasih warning kepada orangtua muda, hati-hatilah jika punya anak lelaki terutama berusia 0-7 tahun. Anda punya andil besar untuk menciptakan karakter mereka.

***

Membaca email itu kembali mengingatkan saya pada fenomena/kehebohan yang terjadi akhir-akhir ini. Fenomena LaGiBeTe yang begitu massif dipropagandakan. 

Saya tertuju pada kalimat di tiga paragraf terakhir. Kalimat-kalimat yang bermuatan sama seperti yang disampaikan para pemateri parenting, seperti Ibu Elly Risman, Ibu Andham Asih Widyastuti, dan lain-lainnya. Dari cerita teman itu, saya juga mengamini, jika sudah menitipkan anak-anak di sekolah berbasis agama bukan berarti peran orang tua menjadi tidak diperlukan.  

Bahwa laki-laki 'feminim', atau perempuan 'tomboy' tidak serta merta muncul begitu saja (bawaan orok). Bahkan teman saya itu jelas-jelas menolak bahwa kefeminimannya adalah fitrah dari Tuhan. Ada fase-fase kritis masa pertumbuhan kejiwaan anak di usia 0-7 tahun, dimana ada ruang kosong yang tidak terisi oleh orang tuannya. Saya mencatat perkataan Ibu Ely Risman di sebuah seminar, "Kecenderungan keluarga zaman ini, anak-anak sekarang adalah fatherless."

Banyak anak-anak baik laki-laki ataupun perempuan kehilangan sosok 'Ayah' dalam usia emas tumbuh kembangnya. Bukan hanya tidak ada sosok Ayah secara fisik, tapi kehangatan sosok Ayah tidak mereka dapatkan.  

Meskipun peran pendidik utama dan pertama adalah seorang Ibu, peran Ayah tetap harus hadir. Menurut seorang praktisi neurosains terapan, Anne Gracia  bahwa sentuhan ibu memang memiliki karakteristik lebih lembut, namun anak perlu juga dikenalkan dengan sentuhan yang lebih keras dari sisi ayah. Perbedaan sentuhan, frekuensi suara, gendongan yang berbeda antara ayah dan ibu, membuat anak menjadi lebih siap menghadapai tantangan hidup kelak ketika ia dewasa.

Bagi anak laki-laki, sosok AYAH adalah sosok lelaki yang akan menjadi idolanya, menjadi teman untuk beradu kekuatan, main sepak bola, bermain mainan anak laki-laki. Saya juga pernah mendapat nasehat dari guru anak saya ketika SD, saat seorang wali murid berkeluh jika anak laki-lakinya sangat penakut, cengeng, dan lebih suka diam di rumah. Setelah ditelisik, ternyata ayahnya tidak pernah punya waktu untuk sekadar main bola, bersepeda, atau bercengkerama dengan anaknya. "Jika punya anak laki-laki luangkan waktu ayah untuk mengajaknya bermain," nasehat guru anak saya.

Menurut Ibu Elly Risman, anak laki-laki yang jauh dari sentuhan ayahnya akan berakibat saat remaja ia terlibat pornografi, narkoba, cenderung sexually aktif, atau menyimpang perilaku seksualnya. 

Anak perempuan pun butuh sentuhan dan sosok Ayah. Saya melihat pada  kedua bocah perempuan, mereka sangat nyaman bermain dan bercengkerama dengan Ayahnya. Hal-hal yang tidak mereka dapatkan dari saya ibunya, seperti bermain yang membutuhkan otot dan tenaga, naik sepeda dengan atraksi, naik-naik pohon dan semacamnya mereka puaskan dengan Ayah mereka. 

Dampaknya, mereka jadi sangat terbuka bercerita dengan ayahnya. Terbiasa dengan sentuhan laki-laki yaitu ayahnya. Terimakasih tak hingga buat Pak Suami :)  Biarlah anak perempuan saya, menjadikan Ayah sebagai cinta pertama mereka. Seperti saya yang begitu jatuh cinta pada sosok Bapak. Hingga semua nasehat, pelukan, dan suara kerasnya jika marah terbenam dalam benak. 

Menurut ibu Elly Risman, anak perempuan yang kurang perhatian dari ayahnya ketika remaja atau dewasa cenderung mudah jatuh cinta, dan mudah menyerahkan diri pada rayuan laki-laki. Karena kurang sentuhan ayah, cenderung jatuh cinta pada laki-laki yang lebih tua seperti sosok Ayahnya. 

Saya menjadi semakin mengerti dan memahami, mengapa Allah dan Rasulnya begitu memuliakan anak yatim. Karena sosok ayah begitu penting.


Semoga sepenggal surat teman saya di atas bisa menjadi muhasabah diri saya dan pembaca blog ini. 

*semoga rahmat dan cahaya hidayah Allah selalu bersamamu.

Rumah Hijau, 04042016

9 comments:

  1. aamiin...

    mba, ngeri banget hidup di zaman sekarang ya, kalo gak punya pegangan yg kuat. apalagi informasi tersedia dan dapat diakses dg sangat mudah. sbg orang tua, pastinya keteteran dg arus informasi saat ini, apalagi kalo ga ada saringannya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar mbak Eda, sering was-was khawatir dll. Setelah segala upaya dan usaha, ujungnya pasrah, doa tak putus,menitipkan anak pada pemilik jiwanya. Semoga anak-anak kita dilindungi dari berbagai fitnah dunia di akhir zaman ini ya mbak.

      Delete
  2. Jadi ortu jaman sekarang memang berat

    ReplyDelete
  3. Di kantorku banyak banget nih yang begini, bahkan beberapa itu pejabat-pejabat atas. Semoga aja anak2 kita ga terjerumus begitu ya mbak.. Aku masih takut salah mendidik anak, apalagi dengan lingkungan yang seram seperti itu :(..

    Tapi aku pribadi ya, beberapa temenku yang 'gay' itu asyik diajak berteman. mereka baik, lucu, dan kebanyakan cerdas orang-orang begini. Ga ngerti juga kenapa mereka bisa terjerumus.. Malah aku pernah main ke rumah salah satu temen gay, dan di sana ibunya lgs meluk dan mengira aku pacar anaknya -__-. Ternyata si ibu ntah ga tau, ato pura- ga mau tau ttg kondisi anaknya, tapi yg pasti dia berharap anaknya bisa nikah dan punya anak suatu hari nanti, balik ke normal lah.. Sedih aja sih ngeliatnya.. Kebayang kalo aku yg di posisi dia :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiin... semoga Allah menjaga anak-anak kita dari perilaku yang demikian

      Delete
  4. Fatherlesa yaa mba, kadang kan ayah lupa, hanya cari uang, pergi kerja pagi pulang ngga ketemu anak. Sabtu minggu ada yg luangin waktu utk anak, ada juga yg ngga :'(
    Makasih yah mba postingannya ^^ love it

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama-sama :) Baik anak laki2 ataupun perempuan sama-sama butuh sosok Ayah ya ternyata. Semoga para Ayah pada sadar hehe

      Delete
  5. suka sekali dengan tulisan ini..
    bisa menjadi evaluasi bagi saya sendiri untuk selalu mengontrol diri, menjadi manusia yang tak gampang menjatuhkan judgement kepada orang dengan kelakuan diluar kewajaran kita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih sudah berkenan mampir :) Iya, kadang kita ikut andil juga menjerumuskan mereka. Awalnya memang dari salah asuhan, namaun lingkungan yang membully, melecehkan malah semakin menenggelamkan dan menyeret semakin jauh.

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...