Tuesday 2 August 2016

#Review Film "Untuk Angeline", Semoga Ini Air Mata Terakhir untuk Tragedi Kekerasan Pada Anak

Awalnya saya tidak begitu tertarik  menonton film ini. Karena saya sudah bisa mengira-ngira pemandangan apa yang akan saya saksikan di depan layar. Membaca berita tentang hilangnya Angeline, bocah asal Bali yang sangat menghebohkan publik dan kematian tragisnya saja hati saya sudah merasakan perih, tak bisa membendung airmata.  



Tapi, saya terprovokasi juga oleh poster film-nya. Seorang ibu dengan wajah pilu, berderai airmata duka, perasaan yang akan dirasakan oleh ibu manapun di dunia ini jika kehilangan anak. Apalagi anak yang belum sempat Ia rawat sejak pertama kali bayi itu hadir di dunia. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut nobar "Untuk Angeline" di XXI Cito Surabaya, bersama Kopier Surabaya. 




Sinopsis :

Film dibuka dengan adegan Samidah (Kinaryosih) yang duduk di kursi persidangan, sebagai saksi dalam kasus kematian putrinya, Angeline. Wajah sembab dan pilu Midah, menyiratkan betapa berat dan sesaknya kepedihan yang mendera hati. Ibu Hakim yang diperankan oleh Ratna Riantiarno, bertanya awal peristiwa. Kemudian ceritapun bergulir, flasback.

Samidah yang tengah hamil tua, perempuan desa di Banyuwangi memutuskan menyusul Santo, suaminya yang bekerja sebagai kuli bangunan di Bali. Himpitan ekonomi, lah yang mengantarkan Samidah pada peristiwa-peristiwa selanjutnya. 

Tibalah waktu persalinan. Seorang bayi perempuan cantik hadir di antara mereka, bahagia tak terkira tentu saja. Namun kebahagian itu, tak berlangsung lama, ketika mereka dihadapkan pada kenyataan tak punya cukup biaya untuk menebus biaya persalinan. Santo bersikeras tak mau menjual sepeda motor, satu-satunya harta yang menurutnya paling berharga untuk biaya persalinan anaknya. 

Tanpa sepengetahuan Midah, Santo menyepakati untuk memberikan bayinya pada sepasang suami istri John dan Terry sebagai ganti biaya persalinan yang mereka keluarkan. . Oleh keduanya bayi itu mereka beri nama "Angeline".  Mereka memberi syarat, bahwa Angelin boleh ditemui ketika berusia 18 tahun. Betapa hancur hati Midah ketika tahu bahwa anaknya sudah menjadi milik orang lain.  

John sangat menyayangi Angelin, melebih anak laki-lakinya Kevin. Hal inilah yang kemudian memicu kecemburuan Terry dan Kevin pada Angeline. Apalagi ketika Terry tahu, jika John menyiapkan warisan  yang begitu besar untuk Angelin.  Pertengkaran antara keduanya pun tak dapat dielakkan, hingga suatu ketika John meninggal ketika Angelin berusia 5 tahun.

Sejak itulah, hal buruk menghiasi hari-hari Angeline. Perlakuan tidak adil, penyiksaan, kemarahan, dan semua kepedihan harus dirasakan oleh bocah kecil itu sampai berusia 9 tahun. Hingga suatu hari tersebar berita kehilangannya di media-media sosial, televisi ataupun media cetak. Dan begitu tragis, ketika ujung pencarian itu, berakhir dengan ditemukannya mayat Angeline. 

Di saat yang bersamaan, kerinduan Samidah yang tak bisa dibendung pada putrinya mengantarkan ia pulang ke Bali. Hati Ibu mana yang tidak hancur, ketika ia tengah berjuang mencari jejak putrinya, yang sebenarnya sudah sangat dekat, namun berujung kehilangan. Angeline yang tidak pernah tahu sosok Ibu kandungnya. Dan seorang Ibu yang dipertemukan dengan anak yang selama ini dirindukannya, dalam keadaan diam terbujur kaku. 

Dan entah sampai kapan, Samidah akan terus memperjuangkan keadilan untuk putri kecilnya itu. 


Untuk Angeline 

Jenis Film : Drama
Produser : Duke Rachmat, Niken Septikasari
Sutradara : Jito Banyu
Penulis : Lele Laila Nurazizah
Produksi : Citra Visual Sinema
Pemain    : Kinayorsih (Midah) , Santo (Teuku Rifnu Wikana), Naomi Ivo (Angeline)


Review Film :

Meski lumayan cukup telat, ngereview film ini, tapi semoga masih bermanfaat. Alur cerita film ini cukup runut, dengan diselingi adegan persidangan, yang kemudian flashback ke runutan kisahnya. Sebenarnya melihat film ini seperti melihat reka ulang kejadian yang ramai di portal berita online maun offline beberapa waktu lalu. Karena film ini terinspirasi dari kisah nyata "Angeline"


Samidah mencari Angeline, yang sebenarnya sudah sangat dekat. Andai saja....

Namun, karena film ini dikemas dengan akting pemain yang mumpuni, setting yang sangat apik menurut saya, walaupun pada kenyataannya lokasi syuting film ini bukan di Bali namun di Banyuwangi. Namun suasana adat istiadat masyarakat Balinya sangat kental terasa. Menjadi nilai tersendiri bagi saya untuk menikmati settingnya. 

Yang perlu dikasih garis tebal, film ini sebaiknya ditonton oleh para orangtua dan orang-orang dewasa. Karena adegan penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh Terry (Roweina Umboh) Mama tiri Angeline menurut saya tidak pas untuk ditonton anak-anak. Takutnya akan membekas di memori anak-anak, atau akan ditiru, serem ahh.... Meski tidak diperlihatkan langsung, hanya dengan efek suara-suara namun imajinasi saya sebagai penonton bisa merasakan bagaimana pedihnya sakit yang diderita Angeline. 

Angeline yang malang

Film ini membuat saya merasa dejavu dengan film "Arie Hanggara", yang kisahnya tak kalah menyayat hati. Kejadian di sekitar tahun 1985, kekerasan pada anak yang berujung kematian. 

Yang saya dapat ambil pelajaran sebagai orang tua dan anggota masyarakat, dari film Untuk Angelin e adalah, mulai sekarang selalu peduli dengan lingkungan sekitar kita. Perhatikan orang-orang di sekitar kita terutama anak-anak. Karena merekalah obyek yang paling lemah. Dan mirisnya sebagian pelaku kekerasan pada anak adalah orang-orang terdekat mereka, yang seharusnya menjadi pelindung. 

Segera cari tahu, jika terdengar tangisan anak-anak yang terus menerus, atau anak-anak dengan luka lebam di tubuhnya, wajah pucat kurus, atau pun jika ada tetagga yang tertutup seperti menyembunyikan sesuatu di rumahnya.  Sebagai guru, mungkin jika ada seorang murid yang tidak masuk lama, ada anggota tubuhnya yang luka tidak wajar, atau ada perubahan perilaku sebaiknya segera mencari tahu penyebabnya. 

Satu lagi yang bikin gemas, kasus perdagangan anak. Apakah semudah itu memberikan anak pada seseorang yang tidak dikenal sebelumnya? Mungkin faktor ekonomi lah pemicunya. Minimal pihak RS bisa juga ikut peduli juga jika ada pasien yang tidak bisa membawa pulang bayinya karena biaya. Duuhh... kok saya yang ngomel-ngomel. Semoga semua lembaga dan departemen yang terkait dengan perlindungan anak semakin peduli. Dah gitu ajah.  

Hmm... sebenarnya waktu nonton film ini, saya bertahan untuk tidak menangis. Tapi ternyata nggak kuat. Terutama adegan saat Midah rindu pada anaknya, saat Angeline membacakan surat utuk sosok Ibu yang tidak pernah dikenalnya di acara perayaan Hari Ibu di sekolah, dan saat Midah menangisi kepergian Angeline. Huhu... ngak kuat mewek juga akhirnya. 

Semoga kasus Angeline adalah yang terakhir menimpa pada anak-anak. Yuk para orang tua, tonton film "Untuk Angeline"  lalu  peluk anak-anak dan mulai peduli pada anak-anak di sekitar kita. 

2 comments:

  1. alasan yang sama mba, saya gak begitu tertarik nonton film ini. Dan sdh bisa dibayangkan saya bakalan nangis terus

    ReplyDelete
  2. tidak seperti yg kita bayangkan seblumnya ya mbak....kirain filmnya penuh kekerasan
    film yg bagus buat keluarga indonesia...

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...