Wednesday 10 October 2012

Mudik Gratis (Pengalaman Pertama)



Sebenarnya sejak pulang mudik kemarin pingin menuliskan ini. Tapi terkendala banyak hal, terutama rasa malas, jadilah baru saya tulis sekarang. 

Suasana di dalam kereta mudik gratis :))

            Lebaran selalu dinanti setiap kaum muslim. Apalagi di Indonesia yang terkenal dengan tradisi mudiknya. Dan saya merasa tradisi mudik ini adalah tradisi paling indonesia, saat Hari Raya menjelang. Dimana hampir semua orang berbondong-bondong menuju suatu titik. Yaitu tempat tumpah darah masing-masing, maupun tempat asal mereka masing-masing. Dimana di sana tinggal kedua orang tua, atau para kerabat yang dituakan. Rasanya kurang lengkap lebaran tanpa mudik. Merayakan lebaran di tanah rantau, jauh dari saudara dan kerabat serasa hampa. Meskipun makna lebaran tak berkurang walau tanpa disertai ritual mudik, tetap saja ada ruang kecil yang senyap di hati. 

Suasana Silaturahmi Kel. besar H.Muhdhori Hj.Murochmi
            Nah, saya pun demikian. Meski sekarang agenda mudik saya tidak sepanjang dulu. Sejak Bapak dan Mama meninggal, tidak setiap tahun saya mudik ke Tegal. Karena sebagian keluarga besar dari Mama tinggal di Jawa Timur, Surabaya dan sekitarnya. Jadi saya hanya mudik ke Madiun, rumah Bapak dan Ibu mertua. 
 
lebaran bertema batik
            Tahun ini, karena Hari Raya jatuh berbarengan dengan tahun pejaran baru dan kebetulan pas Kakak juga masuk SMP, jadilah kami berpikir ulang untuk rencana mudik. Apa hubungannya? Jelas dong ada hubungannya. Masalah budget tentu saja. Kebetulan juga, acar halal bi halal keluarga besar Mbah, orang tua Mama, juga diadakan di Surabaya, jadilah semua adik-adik, sepupu, keponakan, bulik,om, budhe, pakdhe semua berkumpul di Surabaya. 

            Dan si Ayah, paling malas kalau harus berdesak-desak dan bermace-macetan di jalan. Apalagi sejak awal puasa badan juga agak kurang fit. Sekitar sebulan yang lalu juga sudah habis liburan, Ayah mengusulkan untuk pulang tidak usah pas lebaran, nunggu seminggu sesudahnya saja. Tapi saya kok merasa nggak rela kalau lebaran hanya berdiam di Surabaya, dan nggak tega mengecewakan Bapak dan Ibu yang tentunya sudah menunggu-nunggu kami. 

            Sejak awal puasa, tiket kereta api sudah ludes. Padahal harganya menjadi selangit saat lebaran, tarif pun menggunakan tarif batas atas. Meskipun kami turun di Madiun, kami tetap harus membayar tiket sampai Jogja . Wahhh ... betul-betul  bikin kantong yang sedang kembang kempis tambah menangis. Mau naik bis rasanya nggak membayangkan kerepotannya. Berebutan dan berdesakan di terminal. Rencananya mau barengan sama adik saja yang mudik ke rumah mertua di Nganjuk, lumayan kan si Ayah nggak perlu nyupir sendiri. Eehh ... ternyata dia nggak mudik. Repot dan malas karena baru punya bayi. Mobil pun sudah laku,  dari pada ngendon, sudah di sekolahkan biar pinter hehe. 

            Banyak teman-teman kantor sudah siap dengan tiketnya masing-masing. Bahkan kebanyakan, karena pulang mudik di sekitar Jawa Timur, mereka sudah sejak lama mengurus mudik gratis. Mendengar cerita mereka, yang heboh  ada yang dapat bingkisan, jaket, dan lain sebagainya tergantung instansi penyelenggaranya, jadi pingin merasakan mudik gratis juga. Tapi malas juga kalau naik bis, karena waktunya pasti sebelum liburan resmi dan kami pun harus melewati lebaran kumpul dengan keluarga besar di Surabaya terleih dahulu. Anak-anak pun inginnya naik kereta. Ya... kayaknya mudik gratis dengan kereta api hanya impian deh.

Ditengah kebingungan dan ketidakpastian, dua hari sebelum libur, dan H-3 sebelum lebaran, dapat kabar dari teman yang iseng browsing. “Mbak, Dishub dan PT.KAI , ngadain mudik gratis pakai kereta api loh! Waktunya juga panjang bisa memilih hari, karena setiap hari ada sampai tanggal 27 Agustus. Dan kayaknya kurang sosialisasi deh, wong penumpangnya kemarin aja cuma 5 orang untuk kereta dengan kapasitas 300 orang,” kata teman saya penuh semangat.

Tadinya saya ragu-ragu, kuatir antri, desak-desakan dan sebagainya. Tahu sendiri kan, namanya sesuatu yang gratis di negeri ini pasti bakalan jadi rebutan. Tapi dari pada tidak mudik, akhirnya saya meminta tolong si Ayah untuk mencoba. Si Ayah pun cek dan ricek informasi itu dengan browsing di internet.
           
Ternyata, tidak seperti yang saya bayangkan. Di stasiun tidak sampai antri berjubel. Syaratnya pun sangat mudah, hanya fotocopy KTP sebanyak tiket yang dipesan. Karena kami berempat, jadi si Ayah fotocopy KTP  4 lembar..

Saat saya dikabari sudah dapat tiket mudik gratis, dan itu dengan kereta api, rasanya pingin bilang “WOW” .  Sebagai ibu rumah tangga jelas saya sangat diuntungkan, kepala saya langsung berputar-putar menghitung berapa biaya yang bisa saya hemat. Alhamdulillah... sesungguhnya setelah  kesusahan  selalu ada  kemudahan.

Malam takbir dan lebaran kami lewati di Surabaya. Kumpul di rumah bulik, adek Mama yang nomor tujuh. (Mama delapan bersaudara, dan hanya Mama yang tinggal di Tegal menemani Mbah) Meskipun tetap merindukan suasana lebaran seperti dulu di Tegal, tapi paling tidak kami bisa berkumpul keluarga, dan yang membuat soul lebaran tidak hilang, malam takbiran kami sudah sibuk di dapur membuat ketupat, opor, dan sambel goreng hati. Hidangan khas lebaran.

Acara kumpul keluarga pun berjalan meriah. Hampir semua bisa hadir, hanya beberapa yang absen karena menjalankan tugas negara dan tidak bisa mengambil cuti lebaran. Dari dua orang sekarang telah berkembang menjadi hampir 150 orang mulai dari anak, menantu, cucu, hingga buyut. Kalau sudah kumpul begini, yang ada hanya saling cerita, makan, dan saling terbengong-bengong. Melihat keponakan-keponakan yang dulu pernah digendong-gendong sekarang sudah pada beranjak remaja. Bahkan beberapa keponakan yang sudah menikah membuat kami pada protes, karena membuat kami mendadak dipanggil Eyang :D
bermunculan anggota keluarga baru :)


Kembali ke cerita mudik gratis. Besoknya, hari kedua lebaran, kami menuju stasiun Gubeng diantar oleh seorang keponakan. Di jalan, saya masih ragu. Membayangkan kondisi kereta yang disediakan untuk angkutan mudik gratis itu. Jangan-jangan kereta kumuh yang bau dengan tempat duduk di pinggirnya yang berhadap-hadapan, berdesakan dipenuhi orang berdiri bergelantungan. Tapi saya tidak berani mengeluhkan kekhawatiran pada si Ayah. Khawatir nanti malah kena semprot hehe “Wong gratis kok minta enak. Kalau pingin enak ya naik Sancaka aja!”

Sebelumnya, datang kereta Sancaka lebaran. Ternyata jubelan penumpang tadi adalah para calon penumpang Sancaka. Saya menunggu dengan penasaran kereta mudik gratis itu. Saat diumumkan telah masuk kereta (saya lupa namanya) di jalur dua, yang ternyata kereta mudik gratis itu. Kami berempat segera beranjak dari tempat duduk di ruang tunggu. Terlihat sebuah kereta melintas. Body kereta masih terlihat mengkilap. Kami segera naik. Penumpangnya pun ternyata tidak berjejalan, seperti kereta Sancaka sebelumnya.

Saat masuk ke dalamnya, kami pun tidak berebutan tempat duduk. Meski tiket tidak ada nomor tempat duduknya, kami semua kebagian tempat duduk. Dan apa yang saya khawatirkan sebelumnya ternyata tidak terjadi. Kursi kereta menghadap ke depan semua, ada pula yang berhadapan. Jok empuknya masih terbungkus plastik transparan. Kondisinya benar-benar bersih, dan jauh dari kesan kumuh dan bau tak sedap. Dilengkapi pula dengan toilet yang bersih dengan air yang mengalir. Pokoknya benar-benar perjalanan mudik yang nyaman. Oh ya, alat pengatur suhunya juga masih sangat bagus, hingga hampir sebagian penumpang kedinginan.

Meskipun tetap saja, kereta yang kami tumpangi harus mengalah pada kereta-kereta cepat yang mendahului, dan harus berhenti di setiap stasiun yang dilewati.   Tapi karena suasana yang nyaman, jadi tidak terasa. Yang ada suasana gembira seperti piknik keluarga. Anak-anak pun tertawa bahagia bebas dari rasa pusing dan mual. Dan yang terpenting bebas macet :)
Alhamdulillah … setelah hampir enam jam kami tiba di stasiun Madiun (kalau perjalanan normal naik kendaraan pribadi tanpa macet paling lama 3,5 jam)

Dan perjalanan mudik gratis ini menjadi cerita menarik saat kami silaturahmi, berkunjung ke rumah saudara. Dan serunya, banyak saudara suami  yang minta tolong di daftarkan untuk ikut pulang mudik gratis :D Ucapan syukur juga tak pernah lepas dari bibir dan hati saya, mendengar cerita banyak kerabat yang terjebak kemacetan hingga berjam-jam di perjalanan. Bahkan ada kerabat , perjalanan yang biasa ditempuh 4 sampai 5 jam menjadi 12 jam .

Pulangnya pun kami kembali ikut mudik gratis kereta api. Benar-benar lebaran yang murah, meriah dan tentunya penuh berkah tahun ini. Semoga tahun depan kereta mudik gratis masih diperlakukan, dan tetap terjaga kenyamanannya. Kalau tak ada rencana untuk keliling ke luar kota tentunya saya lebih  memilih  ikut mudik gratis (kereta api) murah meriah dan nggak capek jadi kernet nemani pak supir ^_^


 *Tulisan ini diikutsertakan dalam kontes kenangan Bunda Sumiyati

Belajar Syukur dari Aisya

Lama saya tidak update di sini. Anak jaman sekarang cenderung lebih kritis, terbuka dan langsung protes bila ada yang tidak sesuai menurutnya.

Nah, begitupun dengan Aisya. Dia adalah kritikus handal buat saya. Banyak pelajaran berharga keluar dari mulut mungilnya. Salah satunya tulisan di atas itu. Curhat kecil yang nongol di tabloid Mom&Kiddie.

Yang perlu digarisbawahi, jangan suka guyon pada anak dengan mengucap kan "Anaknya siapa sih ini?" atau seperti saya, sering keceplosan kalo Aisyah bikin ribut saya sering mengadu pada Ayahnya dengan ucapan "Yah ... ini loh anakmu bla bal bla ...."

Untungnya Aisya tukang protes, dan langsung menyambar ucapan Ibunya "Ibu kok nggak bersyukur sih punya anak aku?"
"Gubrakk !"
Coba kalau itu terjadi terus menerus pada anak yang punya sifat pendiam dan tertutup. Bisa dibayangkan dia akan menyimpannya di hati dan selalu bertanya-tanya "Sebenarnya aku anak siapa sih?   Ini hanya pemikiran saya saja sih.... Tapi mungkin saja itu terjadi kan?

Mulai saat itu saya jadi hati-hati ngomong sama Aisya. hihihi kuatir kena semprot dan protes lagi. (Tapi tetap saja saya sering kena protes kalau saya tidak konsisten dengan ucapan dan tindakan saya ) Makanya jadi benar-benar harus hati-hati sebelum menasehati anak-anak. Saya harus instospeksi dulu sudah memberi contoh sesuai dengan yang dinasehatkan atau perintahkan belum??

*Sekedar catatan kecil karena PR yang bertumpuk belum sempat update di rumah cinta ini :)) 


Thursday 27 September 2012

DUA HATI SATU TUJUAN


Lampion Garden BNS

Cerita ini saya kutip dari sebuah kelas parenting yg saya ikuti. Tapi mohon maaf kalau saya tulis dengan gaya bahasa saya (soalnya yang saya ingat hanya inti ceritanya saja ^_^)


Alkisah hidup lah sepasang suami istri di sebuah desa yang subur, mereka saling mencintai satu sama lain meskipun hidup dalam kondisi yang seba terbatas.

Sunday 23 September 2012

Untung Tidak Lahir di Jalan

jejak kecil di Nakita edisi 703



Saat mengandung anak kedua, saya sudah berencana untuk melahirkan di rumah Ibu di Madiun. Semua sudah dipersiapkan.  Pagi hari, 10 hari lebih awal dari tanggal perkiraan dokter, saya merasakan kontraksi. Saya pikir hanya kontraksi semu.  Tapi semakin siang sakitnya tak beranjak hilang.  Karena sudah berencana untuk melahirkan di Madiun, saya tetap mengajak suami untuk pulang. Sepanjang perjalanan Surabaya-Madiun saya menahan rasa sakit, dan berusaha menyembunyikan dari suami agar tak cemas.  Sampai di Madiun, kami langsung menuju klinik bersalin.  Ternyata sudah bukaan empat. Alhamdulillah … untung bayiku tidak lahir di jalan :)


*Kisah seputar buah hati dan kehamilan, sesuai tema yang ditentukan setiap minggunya. Kirim ke nakita@gramedia-majalah.com

  ***

Sebenarnya judul awalnya 'Hampir Saja' sebelum diedit oleh redaksi Nakita.  Dan cerita dibalik layar sesungguhnya  lebih mendebarkan.  Malam harinya sebenarnya sudah terasa pinggang sakit luar biasa, tapi menjelang shubuh sakitnya mereda.  Pagi harinya, saya memutuskan untuk ke kantor, menenangkan suami kalau tak apa-apa, paling cuma kontraksi semu. Sebab berdasarkan pengalaman anak pertama, lahir 1 hari lebih lambat dari perkiraan dokter, padahal saya sudah cuti 2 minggu sebelum tanggal perkiraan.

Olala! Ternyata, sekitar jam 10 pagi rasa mules datang lagi, saya langsung telpon suami minta dijemput.  Sepanjang perjalanan, diam menerima ceramah suami yang katanya saya 'ngeyel' hehe. Dan suami menyarankan untuk ke klinik bersalin di Surabaya saja, tempat saya biasa periksa kehamilan. Lagi-lagi saya tetep ngeyel, pokoknya pulang aja ke Madiun.

Kebetulan hari itu hari Jum'at, saya berusaha tenang, dan menyuruh suami untuk sholat jumat dulu aja, sembari menunggu saya beres-beres. Berdua bergoncengan sepeda motor menuju terminal Bungurasih, dan kami sempat makan siang dulu lhoh di rumah makan ayam goreng cepat saji dekat ruang tunggu terminal, sembari menunggu bis patas ke Madiun :D  

Alhamdulillah... perjalanan lancar, meski sepanjang perjalanan menahan mules dan berusaha menyembunyikan dari suami, sampailah kami di Madiun dengan selamat. Putriku keduaku lahir hari Sabtu dinihari sekitar jam 02.30 , sehat tak kurang suatu apapun.  Sekarang kalau ingat pasti geli campur ngeri sendiri, nggak membayangkan kalau lahir di dalam bis bisa panik dan heboh semua penumpangnya :))

Jadi sadar bahwa kelahiran dan kematian benar-benar hak prerogatif Alloh. Dokter cuma bisa memprediksi saja dengan segala ilmu pengetahuan yang terbatas dibanding dengan ilmu Alloh yang maha luas.

Sunday 16 September 2012

FF : LAFAZ CINTA

   
          “Ra, aku akan melamarmu pada  kedua orang tuamu?” tanyaku memecah sunyi.

            Sesaat  kau hanya menunduk dan terdiam, tak sepatah katapun keluar dari bibir mu.  Aku tahu, diammu bukan berarti ya, diammu adalah kebimbangan..

            “Maaf  El, aku belum siap.”

            “Apa yang kau tunggu Ra, aku serius untuk menikahimu.”

            “Beri aku waktu El, kalau kau tidak bisa menunggu, biarlah aku melepasmu”

            Akhirnya senja ini, kita sepakat untuk mengisi hidup kita masing-masing.  Wajar jika kau masih ragu untuk menikah denganku.  Usiaku yang tiga tahun lebih muda dan kondisi ekonomiku yang belum mapan pasti menjadi pertimbangan terbesarmu untuk menerima lamaranku.  Tak bisa aku meyakinkanmu jika Allah akan mencukupkan rezeki bagi orang yang menikah.

            Bapak dan ibu tidak bisa berkompromi lagi, usahaku mengulur-ngulur waktu sudah sampai pada ujungnya.  Waktu satu bulan yang aku berikan pada bapak hampir berakhir, dan aku masih berharap Almira menyampaikan kabar gembira, bersedia menerima lamaranku.

            “Eldi, bapak dan ibu sudah tua, kami hanya ingin melihatmu menikah.  Kalau kau belum juga mengajak bapak untuk melamar gadis pilihanmu, bapak sendiri yang akan melamarkan seorang gadis pilihan bapak untukmu”

            “Glekk,” aku hanya bisa menelan ludah.  Hari gini aku harus menerima untuk dijodohkan?  Tapi memandang wajah Bapak yang semakin layu diterpa usia, dengan gurat-gurat kelelahan membayangi wajah yang masih menyisakan kegagahan masa mudanya, sungguh aku tak kuasa menolak.

            Akhirnya, aku menerima gadis yang dipilihkan bapak.  Proses ta’aruf cukup singkat dan semua dimudahkan oleh Allah. Setelah keluargaku resmi melamar, dalam dua minggu aku pontang-panting mengurus semua persiapan pernikahan.

            Mungkin semua orang yang mengetahui hubunganku dengan Rara akan berpikir aku telah meninggalkannya untuk menikah dengan gadis lain.  Dan bisa dipastikan mereka semua akan terkejut  saat menerima undangan . Mungkin mereka akan menganggap undangannya salah cetak, karena bukan nama Rara yang bersanding dengan namaku, tapi nama Nisa gadis sederhana pilihan orang tuaku.  Biarlah…aku tak peduli, karena aku percaya cinta yang benar akan menemukan jalannya, dan jalan cinta antara dua orang berbeda jenis adalah pernikahan.
                                                           
***
            Hari ini aku bahagia, aku ucapkan lafaz cinta dihadapan penghulu dengan disaksikan semua keluarga dan kerabat .  Kulihat senyum tak pernah lepas dari wajah Bapak dan Ibu, bahagia juga menjalari seluruh bilik dan ruang hatiku.

“Semoga lafaz cintaku tidak di atas lukamu Ra ,”  hatiku berucap lirih.

***
                                              
         Di dalam sebuah kamar, seorang gadis menggenggam sebuah undangan perak, hatinya gerimis, sudut matanya mulai hangat dialiri embun bening yang sudah berat tergantung disana.
            “Semoga berkah Allah selalu terlimpah untukmu  El.”



Rumah Hijau, 03119022011
FF lama yang batal dikirim untuk lomba karena nyangkut imelnya :D dari pada cuma nampang aku ikutkan di giveaway  Elfarizi 4 th anniversary KATEGORI: FIKSI MINI  (kayaknya sekitar 400 kata deh ini )



Monday 10 September 2012

Giveaway Novel Cinderella Syndrome, Leyla Hana


Siang tadi BW dan nemu GA di blognya mba






       Erika menatap pantulan bayangan dirinya di cermin dengan pandangan kosong.  Sejenak dia terpaku, kemudian perlahan tangannya mengusap wajah, menelusuri permukaan kulitnya yang bersih terawat. Entah kenapa, tiba-tiba saja perasaan gundah merayapi hatinya.  Sebelumnya dia tak pernah peduli dengan omongan orang tentang dirinya.  

          Di usianya yang memasuki kepala tiga, Erika masih saja sendiri.  Apakah salah, jika seorang wanita masih berstatus gadis di usianya yang ke 30? Apakah pernikahan harus dipaksakan hanya untuk alasan status di lingkungan sosial dan menghapus gelar perawan tua yang akan disandangnya? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Erika, semakin membuat hatinya pedih dan sedih.

          Sebenarnya selama ini Erika enjoy saja dengan setatus singglenya, bahkan saat satu persatu adik-adiknya melangkahi untuk menikahpun dia tetap tersenyum memberikan restu. Baginya, alangkah tidak bijaksananya jika adik-adiknya tak bisa melangkah memasuki gebang pernikahan  hanya karena terganjal status kakak perempuannya yang masih gadis.  Bukankan jodoh, rezeki dan mati hanya Tuhan yang berhak mengatur? Dan Erika sadar betul, keputusannya untuk tidak menikah janganlah menjadi  penghambat kebahagiaan adik-adiknya.

          Hingga dua adik perempuannya kemudian menikah dan memberikan keponakan yang lucu-lucu untuknya.  Rasanya bahagia memandang keluarga kecil adik-adiknya. Tak kalah bahagianya, melihat kegembiraan tak terkira di wajah Bapak dan Ibu yang semakin lanjut.  

          Selama ini Erika sangat menikmati hidupnya, sebagai wanita muda dengan karir cermelang di sebuah perusahaan bonafid tentulah menjadi idaman banyak orang.  Sebenarnya banyak lelaki yang menaruh hati pada Erika.  Wajah cantik dan keramahannya  mempunyai daya tarik tersendiri bagi para kaum adam.  Tapi Erika seolah tidak peduli dengan kehadiran para pemuja di sekelilingnya.  Trauma masa kecilnya  itu masih membekas lekat di memori dan hatinya. Sebuah kecelakan saat dia bersepeda membuat luka di organ reproduksinya dan merobek selaput kehormatan  wanitanya.  Meskipun berulang kali dia diajak konsultasi ke dokter juga psykolog, tapi dia tetap belum yakin, jika ada seorang lelaki yang mau menerima seorang gadis yang tidak perawan, meskipun ketidak perawanan itu bukan disebabkan sebuah perlakuan sexual. 

          “Nak, apa kamu akan bertahan untuk hidup sendiri selamanya? Bukalah pintu hatimu untuk lelaki yang sungguh-sungguh ingin menjadi suamimu, Bapak dan Ibu sudah tua. Tidak ada lagi yang Ibu harapkan, selain melihatmu menikah.”

          Kembali terngiang ucapan Ibu  beberapa hari yang lalu.  Tapi apakah ada seorang lelaki yang mau menerima seorang wanita yang sudah tidak utuh? Tidak bisa mempersembahkan tetesan darah di malam pertamanya?
                                     
          Akhirnya semua kegelisahan dan keraguan Erika runtuh dan perlahan menguap setelah dia bertemu dengan Rizal, seorang pemuda teman adiknya.  Seorang lelaki gagah, dengan tubuh atletis dan wajah lumayan, bertanggung jawab dan sayang pada keluarga, meski usianya dua tahun lebih muda darinya.  Dan yang terpenting kesungguhan Rizal untuk menikahinya itulah yang terpenting. 

          Tak menunggu lama Erika dan Rizalpun menikah.  Ketakutan dan kehawatiran Erika selama ini ternyata tidak terbukti.  Hari-hari mereka lewati dengan penuh kebahagian. Dan Alloh Maha berkehenda, tak lama setelah menikah, Erika pun hamil. Pupus sudah kehawatirannya untuk sulit mempunyai anak karena kecelakaan itu. Kehadiran seorang bayi laki-laki  semakin menambah lekat cinta mereka berdua.

          Hingga suatu hari, semua kebahagiaan itu terkoyak oleh sebuah SMS. Tanpa sengaja Erika membuka SMS di hanphone suaminya yang tertinggal di rumah.  Pesan singkat dengan bertabur kata-kata mesra penuh cinta. Saat itu seakan dunia berhenti berputar, semua menjadi buram berkabut bagi Erika. Bukan kata-kata mesra itu sebenarnya yang paling membuat dunianya hancur berkeping, tapi nama pengirim yang tertera disana yang menjadi penyebabnya.  Dodi Firmansyah, pengirim pesan-pesan mesra itu.  Haruskah dia bersaing dengan seorang lelaki untuk tetap bertahan sebagai istri Rizal? Rasanya lebih menyakitkan, bersaing dengan lelaki!  Meskipun berebut dan berbagi suami dengan wanita juga tak kalah menyakitkannya.

***
Bagaimana nasib Erika selanjutnya? Silakan diteruskan dengan imajinasi masing-masing yaa... karena saya harus melanjutkan pekerjaan kantor sebelum pindah tempat minggu depan hehe (Siapa yang nanya??)
           



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...